IMG_20250325_194024

Perjuangan Ny Hj Basyiroh di Masa Represif Orde Baru

Lampung Selatan, NU Media Jati Agung Ny Hj Basyiroh (wafat 2021), salah satu pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), menghadapi masa sulit saat memimpin organisasi keislaman di tengah tekanan politik Orde Baru.

Ia menjadi Ketua Umum pertama format kepengurusan Pimpinan Pusat IPPNU setelah sebelumnya dipegang oleh Umroh Wahib Wahab (Umroh Machfudzoh) yang menjadi ketua dalam format Dewan Harian IPPNU.

Selama dua periode (1956–1958 dan 1958–1960), Basyiroh Shoimuri memimpin IPPNU dengan penuh dedikasi. Setelah menikah dengan KH Zawawi Jenu Tuban, namanya lebih dikenal sebagai Hj Basyiroh Zawawi. Meski telah purna dari IPPNU, ia terus mengabdi untuk Nahdlatul Ulama hingga akhir hayat.

  • Ceramah Agama yang Berujung Penahanan

Salah satu peristiwa pahit terjadi pada 1970-an. Dalam ceramah Maulid Nabi di Kragan, Rembang, Basyiroh menyampaikan kritik sosial yang dianggap menyinggung kekuasaan.

“Pada tahun 1970-an, saya diundang (acara) mauludan di Kragan. Terus saya bicara, orang-orang Jahiliyah itu menyembah kuburan, wit gedhe (pohon besar). Nah, itu saya disalahkan. Tidak boleh. Terus saya dipanggil, ditahan di Kantor Polisi, setengah malam,” ungkap Hj Basyiroh saat ditemui penulis pada November 2020 di Jenu dilansir dari NU Online.

  • Aturan Ketat dan Sensor terhadap Dai

Pada masa itu, setiap mubaligh harus mengantongi izin resmi dari aparat seperti ABRI dan kepolisian. Ceramah-ceramah diawasi secara ketat. Bila dianggap menyinggung Golkar, panitia atau dai bisa dipanggil dan diinterogasi.

Hj Basyiroh menjadi korban represi karena ucapannya dinilai menyindir Golkar, simbol politik Orde Baru. Ia pun ditahan untuk diperiksa.

  • Diselamatkan Ayah Gus Baha, Tokoh NU Narukan

Beruntung, tokoh besar NU, KH Nur Salim – ayah dari KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) – membantu membebaskannya.

“Waktu itu yang menolong saya keluar dari Polsek, ya itu ayahnya Gus Baha, KH Nur Salim Kragan,” kenangnya.

  • Tekanan Politik dan Intimidasi terhadap Tokoh NU

Banyak tokoh NU mengalami nasib serupa. Beberapa bahkan menjadi korban kekerasan. Majalah Pandji Masjarakat (1 Juli 1971) edisi No 82 Tahun V dan Duta Masjarakat misalnya, memuat kisah Pak Salja (70), aktivis NU dari Desa Slateng Kecamatan Ledok Ombo Kabupaten Jember, yang meninggal karena ditembak aparat. Ia menolak bergabung dengan Golkar.

Jelang Pemilu 1971, tekanan politik kian masif. Babinsa turun ke desa-desa, bukan hanya menjaga keamanan, tetapi juga mengawasi pilihan politik rakyat.

  • Ulama Bersatu Melawan Represi

Sebagai bentuk protes, 700 ulama berkumpul di Tebuireng pada April 1971. Mereka mengeluarkan fatwa agar umat Islam bersatu memilih partai Islam.

Salah satu tokoh NU yang lantang menyuarakan keadilan kala itu adalah Subchan ZE. Ia konsisten mengkritik penyalahgunaan kekuasaan dan ketimpangan pembangunan.

Dalam artikelnya di Majalah Prisma edisi ( 10 Oktober 1983), berjudul “Subchan ZE: Buku Menarik yang Belum Selesai” Arief Mudatsir menyampaikan pemikiran Subchan mengenai demokrasi sebagai mekanisme untuk menghindari penindasan dan menjaga kontrol kekuasaan.

Subchan selalu menghubungkan teori teori tentang demokrasi dengan perubahan dan fenomena sosial serta di tempat mana demokrasi itu akan ditegakkan.

Menurut Subchan, esensi demokrasi terdiri atas tiga hal penting:

1. Doktrin Pemerintahan yang Adil

Sebuah doktrin yang bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, penindasan, serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

2. Prosedur Musyawarah yang Jernih

Mekanisme musyawarah yang memungkinkan tercapainya pendapat yang kristal ( jernih dan representatif) dari masyarakat.

3. Pemerintahan dengan Rantai Kontrol Berkesinambungan

Suatu sistem pemerintahan yang tidak membiarkan terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu jenjang tertentu. Dengan demikian, tercipta rantai pengawasan yang berkesinambungan (continuous chain of control) sebagai mekanisme pengaman (safety mechanism).

Namun, keberanian Subchan berakhir tragis. Ia meninggal dalam kecelakaan mobil saat menjalankan ibadah haji pada 21 Januari 1973, dan dimakamkan di Makkah. (Red)

Sumber NU Online.

Berita Lainnya