Oleh Kyai M.Sahalludin Mahfudz@
Wakil Katib Suryah PCNU Lampung Selatan
Lampung Selatan, NU Media Jati Agung Dalam setiap babak kehidupan manusia, cahaya ilmu telah menjadi lentera yang membimbing langkah-langkah menuju keselamatan.
Namun cahaya itu tidak pernah turun begitu saja dari langit kepada siapa saja yang mengakuinya tanpa kebenaran; ia disampaikan melalui rantai emas: sanad.
Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa pun akan berkata sesuka hatinya, menebar kata-kata tanpa pertanggungjawaban, menabur kebingungan di ladang umat manusia.
Maka dari itu, para ulama agung mewasiatkan: “Janganlah kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang tidak mempelajari ilmu secara langsung dari orang-orang tepercaya, serta dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam dunia yang kini dipenuhi kilatan informasi, di mana jari-jari mengetuk layar lebih sering daripada hati mengetuk pintu-pintu langit, banyak manusia melupakan esensi perjalanan mencari ilmu: bertatap muka, berguru, bersanad, beradab.
Mereka mengira cukup dengan berselancar di internet, membeli buku, menela’ah secara mandiri, lalu merasa cukup memahami agama yang suci ini, bahkan berani memberi fatwa.
Padahal agama ini adalah kemuliaan yang diwariskan dengan kehati-hatian, disampaikan dari dada ke dada, dari hati yang hidup kepada hati yang haus.
Tidak ada jalan pintas dalam menuntut ilmu yang sahih. Membaca buku itu penting, menela’ah itu baik, tetapi itu baru sebatas menghidupkan nalar; belum menghidupkan ruhani, belum menghidupkan warisan kenabian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ilmu itu didapat dengan belajar.” Bukan sekadar dengan membaca buku, bukan dengan membayangkan pemahaman sendiri, melainkan dengan menyerahkan diri di hadapan seorang alim yang bersambung kepada para sahabat, dan dari sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tanpa sanad, ilmu hanyalah gema-gema kosong yang mudah diputarbalikkan oleh hawa nafsu, politik, syahwat pribadi, atau prasangka sesat. Tanpa sanad, agama menjadi seperti tanah liat di tangan para pemahat kepentingan.
Islam, dalam kedalaman ajarannya, bukan hanya agama yang menjelaskan apa yang benar, melainkan juga mengajarkan bagaimana cara memahami kebenaran.
Oleh karena itu, sanad adalah benteng kokoh yang menjaga agama ini dari penyimpangan dan kebatilan.
Imam Malik rahimahullah berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, tentu siapa saja akan berkata semaunya tentang agama Allah.”
Bandingkan dengan ungkapan di dunia modern: “Ketakutan membuat orang mudah dikendalikan.”
Sebagaimana ketakutan membungkam suara manusia dan menyerahkan kebebasan mereka kepada tangan-tangan tirani, kebodohan dalam agama—karena belajar tanpa sanad—membuat umat mudah dikendalikan oleh tokoh-tokoh palsu, oleh fatwa-fatwa keliru, oleh opini-opini tanpa akar.
Mereka tak lagi mampu membedakan mana cahaya dan mana api, mana mutiara dan mana kaca.
Sejarah Islam penuh dengan contoh tentang betapa seriusnya perhatian terhadap sanad. Para perawi hadits, para fuqaha, para ulama tafsir, semua memelihara mata rantai itu seperti memelihara nyawa mereka sendiri.
Bahkan sebelum menerima satu hadits, mereka memeriksa siapa yang membawanya, siapa gurunya, siapa muridnya, apa akhlaknya, bagaimana kredibilitasnya, bagaimana daya ingatnya. Karena agama ini adalah amanah besar, bukan arena spekulasi.
Di zaman ini, banyak orang melompat dari satu blog ke video lain, dari satu artikel ke utas Twitter, merasa telah memahami agama. Inilah benih dari kehancuran besar.
Karena ilmu agama bukan sekadar pengetahuan kognitif, melainkan nur (cahaya) yang Allah tanamkan di hati para ahli waris Nabi, yang kemudian ditanamkan pula kepada murid-murid mereka dalam rantai tak terputus.
Tanpa sanad, agama menjadi seperti bangunan tanpa fondasi—mudah roboh diterpa badai zaman.
Oleh sebab itu, para ulama mengingatkan:
“هذا الأمر دين، فانظروا عمن تأخذون دينكم” —
“Urusan ini adalah urusan agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Bahkan di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan pentingnya rujukan kepada yang berilmu:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Ini adalah pengingat bahwa kebenaran bukan untuk dipetik sembarangan seperti daun kering di jalanan. Ia adalah warisan yang harus diambil dengan hormat, dengan bimbingan, dengan kerendahan hati, dari tangan para pewaris Nabi.
Apakah kita mau mengambil agama dari tangan-tangan tak dikenal, yang ilmunya diambil dari bacaan liar, dari pikiran sendiri yang liar, tanpa bimbingan? Ataukah kita kembali kepada mata air yang murni, kepada sanad yang bersambung, kepada guru yang bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Ilmu yang sahih melahirkan akhlak yang sahih. Akhlak yang sahih lahir dari akidah yang sahih. Akidah yang sahih lahir dari agama yang sahih. Dan agama yang sahih hanya sampai kepada kita melalui Rasul yang menerima wahyu, bukan dari imajinasi liar manusia-manusia masa kini.
Maka dalam dunia yang penuh dusta ini, belajarlah dengan adab, bersandarlah pada sanad, menuntutlah ilmu dari ahlinya, karena ini bukan soal pintar atau bodoh, bukan soal cepat atau lambat, tetapi soal menyelamatkan imanmu dari kehancuran abadi.
Ilmu itu bukan sekadar informasi, ia adalah jalan keselamatan. Menuntut ilmu tanpa sanad, seperti mendayung tanpa arah di lautan luas: tiada dermaga, tiada pelabuhan, hanya tersesat dan akhirnya karam.
Imam asy-Syafi’i juga berkomentar mengenai pentingnya sanad ilmu sebagai berikut,
قَالَ الشَافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلَّذِي يَطْلُبُ اْلعِلْمَ بِلَا سَنَدٍ كَحَاطِبِ لَيْلٍ يَحْمِلُ حزمةَ حَطَبٍ وَفِيهِ أفعى وَهُوَ لَا يَدْرِي.
“Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kita dalam jalan ilmu yang bersambung, dalam adab yang mulia, dalam cahaya warisan kenabian yang abadi.
SEMOGA ADA MANFAATNYA UNTUK KITA SEMUA…!!!
والله أعلم بالصواب.
( ألكاتب محمد سهل الدين محفوظ )
SENIN (12 /5 /2025).