Salatiga, MWCNU Jati Agung , – Siapa sangka di balik pesona sejuknya Kota Salatiga, tepatnya di wilayah Tingkir Lor, tersembunyi jejak sejarah agung dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU). Sebuah Makam tua berdiri tenang di atas gumuk asri, diteduhi pohon-pohon besar yang telah berusia ratusan tahun. Di sanalah, Kiai Abdul Wahid – kakek buyut dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – dimakamkan.
Selama ini masyarakat mengenal garis keturunan Gus Dur berpusat di Jombang, tepatnya di Pesantren Tebuireng. Namun, tak banyak yang tahu bahwa silsilah keluarganya juga menapak jejak di tanah Salatiga. Sosok Kiai Abdul Wahid menjadi simpul penting dalam rantai sejarah ini.
Awal Penemuan Makam dan Kisah Ziarah Gus Dur
Menurut KH Abdul Nashir Asyari, pengasuh Pesantren Masyitoh di Tingkir Lor, makam ini mulai dikenal secara luas sejak awal tahun 2000-an. Saat itu, rombongan dari keluarga besar Gus Dur datang berziarah dan menelusuri silsilah leluhur mereka. Ziarah Gus Dur sendiri tercatat terjadi pada tahun 2003. Dalam kesempatan itu, Gus Dur datang bersama tokoh nasional, AS Hikam.
“Ketika Gus Dur datang, banyak orang mulai bertanya-tanya. Siapakah yang dimakamkan di sana? Penelusuran silsilah menunjukkan, benar adanya bahwa itu adalah makam Mbah Abdul Wahid. Bahkan, dalam salah satu kitab karangan Mbah Hasyim Asy’ari disebutkan bahwa leluhur beliau ada yang dimakamkan di daerah Tingkir ini,” terang KH Nashir.
Penguatan informasi ini juga datang dari Gus Muwafiq, seorang kiai dan budayawan yang dikenal dekat dengan keluarga besar NU. Ia menegaskan bahwa makam tersebut bukanlah sembarang makam, melainkan salah satu pusaka sejarah keturunan ulama besar.

Suasana Makam yang Alami dan Unik
Makam Kiai Abdul Wahid hingga kini dibiarkan alami sebagaimana dahulu. Dikelilingi batu-batu nisan kuno yang sebagian besar terbuat dari batu candi, suasananya menghadirkan rasa khidmat dan ketenangan. Selain makam utama, terdapat puluhan makam lain di sekitarnya, menandakan tempat ini telah lama menjadi lokasi pemakaman para tokoh dan warga sekitar.
Agar memudahkan peziarah, telah dipasang petunjuk arah serta silsilah keluarga Gus Dur di sekitar kompleks. Keluarga besar dari Pesantren Tebuireng kini rutin berziarah ke Makam ini, serta mendukung upaya pelestarian dan pembangunan daerah tersebut. Di antaranya adalah rencana pembangunan Masjid Al-Fudhola yang terletak tak jauh dari lokasi makam.
Masjid Al-Fudhola sendiri menjadi saksi bisu perkembangan Islam di kawasan ini. Meskipun telah memutar sebagian, mimbar dan kayu lantainya tetap terjaga keasliannya sejak dibangun pada tahun 1883.
Ulama dan Jejak Darah Joko Tingkir
Siapa sebenarnya Kiai Abdul Wahid?
Ia adalah putra dari Syekh Abdul Halim bin Syekh Abdurrahman, yang dikenal sebagai Pangeran Samhud Bagda. Dari silsilah ini, garis keturunan terus bersambung hingga Pangeran Benowo, kemudian ke Joko Tingkir (Sultan Pajang), lalu ke Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin), dan akhirnya bersambung ke Rasulullah Muhammad SAW.
Tak heran jika makam ini menjadi perhatian khusus. Desa Tingkir sendiri diyakini menjadi tempat masa kecil Joko Tingkir. Meskipun menurut sejarah Joko Tingkir lahir di Banyubiru—sekitar 15 km dari Tingkir—namun ia yakin menghabiskan masa mudanya di kampung yang kini menyimpan jejak sejarah keluarganya.
Makna Ziarah dan Warisan Keilmuan
Ziarah Gus Dur ke makam ini bukan sekadar kunjungan biasa. Ia adalah bentuk penghormatan kepada para leluhur dan simbol pentingnya sanad keilmuan dan keturunan dalam tradisi Islam, khususnya di kalangan pesantren.
“Seorang tokoh seperti Gus Dur tahu betul pentingnya mengenang asal-usul. Ziarah ini mengingatkan kita bahwa kekuatan NU bukan hanya dari keilmuan, tapi juga dari akar sejarah dan spiritual yang panjang,” pungkas KH Nashir.
Hari ini, Makam Kiai Abdul Wahid tak hanya menjadi destinasi ziarah, tapi juga simbol keteguhan warisan ulama Nusantara yang bersambung dari masa ke masa. Semoga upaya pelestarian yang dilakukan tidak hanya merawat fisik makam, tetapi juga menggugah generasi muda untuk mengenal dan mencintai sejarahnya.