IMG_20250325_194024

Kyai Masduki: Dari Membuat Bata di Pesantren Hingga Rois Syuriah MWCNU Jati Agung

Lampung Selatan, NU Media Jati Agung Dibalik kharisma dan kepemimpinannya hari ini, Kyai Masduki adalah sosok yang tumbuh dari perjuangan panjang.

Lahir pada 25 Agustus 1973 di Desa Way Galih, Kyai Masduki merupakan putra dari pasangan Bapak Sandiman dan Ibu Maimunah.

Keduanya adalah sosok sederhana namun berdedikasi dalam menyebarkan ilmu agama di Dusun Umbul Gadung—kini dikenal sebagai Dusun Sukamaju C.

Sejak tahun 1972, orang tuanya bersama masyarakat setempat membangun langgar yang kemudian berkembang menjadi Pondok Pesantren Yanabiil Ulum.

Kyai Masduki kecil tumbuh dalam lingkungan religius. Pada usia 4 tahun sudah mulai belajar agama, dan usia 7 tahun tinggal bersama kakek dan neneknyaKyai Muhammad Thohir dan Nyai Robiatun—di Pringsewu, Totokarto, tempat ia semakin terikat dengan nilai-nilai Islam.

Langkahnya menempuh dunia pesantren membawanya ke berbagai tempat. Setelah nyantri di Musholla yang didirikan keluarganya, ia menimba ilmu di Pesantren Nurul Islam Sumber Jaya.

Lulus dari Madrasah Aliyah pada 1994, Kyai Masduki sempat mampir ke Pondok Modern Gontor namun tidak menetap karena keterbatasan biaya.

Perjalanannya berlanjut hingga tiba di Pesantren Darul Huda, Jember, Jawa Timur. Di sanalah, dalam kondisi minim, ia diajak langsung oleh KH. Nurhadi untuk membantu pembangunan pesantren dengan membuat bata.

Foto Dok MWCNU Jati Agung: Kebersamaan Kyai Masduki Rois Syuriah MWCNU Jati Agung, dan Kyai Ansori Ketua Tanfidziyah MWCNU Jati Agung.

“Setiap 1.000 bata dikasih bisyaroh 10 ribu,” kenangnya. Dalam dua bulan, ia berhasil membuat 15 ribu bata—menjadi bukti keteguhan tekadnya.

Selama sembilan tahun di Jember, ia belajar banyak dari para ulama, dan akhirnya dipercaya menjadi pengurus bidang keamanan pondok.

“Saya pernah menggunduli beberapa sahabat santri yang melanggar aturan,” ujarnya kepada NU Media Jati Agung sambil tersenyum mengenang.

Di antara guru yang sangat berpengaruh dalam hidupnya selain orang tua dan kakeknya adalah:

1. KH. Ahmad Nuruddin

2. KH. Masduki (Pengasuh Pondok Nurul Islam)

3. KH. Imam Kholid Muzaki

4. KH. Nurhadi Jawahir (Pengasuh Ponpes Darul Huda Jember Jawa Timur)

Kyai Masduki mengakui bahwa ilmu tasawuf menjadi bidang yang paling ingin ia dalami. Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali menjadi rujukan favoritnya.

Pada tahun 2003, beliau kembali ke Lampung dan saat ini diamanahi sebagai Rois Syuriah MWCNU Jati Agung periode 2024–2029, setelah sebelumnya menjabat Sekretaris RMI-NU Jati Agung masa khidmat 2019–2024.

Penunjukannya sebagai Rois Syuriah mendapat restu dari para Kyai senior seperti:

Kyai Nasrudin

Kyai Zahid Mursidi

Kyai Busrodin

Kyai Subario

“Yang cocok sebenarnya Kyai Nurkholis Ahmad, tapi karena beliau fokus ngaji dengan santri, akhirnya saya yang diberi amanah,” ucapnya rendah hati.

Visi Kyai Masduki untuk NU Jati Agung jelas: Terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan, berlandaskan ajaran Aswaja An-Nahdliyah.

Di tengah tantangan zaman digital, Kyai Masduki berpesan agar umat Nahdliyin mampu menjaga amaliah dan akidah Aswaja.

“Jangan hanya jadi konsumen informasi, tapi teliti dan manfaatkan media sosial untuk dakwah yang rahmatan lil ‘alamin.”

Sebagai petani yang juga aktif dalam kehidupan sosial, ia memimpin dengan pendekatan kultural dan musyawarah.

Kedekatannya dengan warga dibangun lewat kegiatan ngaji bareng dan ngobrol santai, terutama dengan generasi muda.

“Harapan saya, kader-kader muda NU jangan berhenti mencari ilmu. Teruslah berjuang untuk meneruskan perjuangan para ulama, menjaga moral bangsa, dan membentengi akidah,” pesannya.

Bagi Kyai Masduki, mimpi besarnya adalah tumbuhnya pesantren NU, kemandirian ekonomi umat, dan berdirinya rumah sehat NU di Jati Agung.

Di forum nasional NU pun, ia siap menyuarakan pentingnya ukhuwah Islamiyyah, pendidikan berkualitas, serta kerukunan antarumat.

“Teruslah melangkah, berkarya, dan jangan jauh dari para alim ulama,” pungkasnya. (ARF).

Berita Lainnya