Pringsewu, MWCNU Jati Agung, – Menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (NU)—termasuk badan otonom dan lembaga di dalamnya—bukan sekadar gelar atau posisi prestisius. Ia adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Pengurus NU harus aktif menghidupkan dan mengembangkan organisasi, bukan justru menjadi beban atau penyebab stagnasi.
“Pengurus harus ngurusi, bukan malah membuat NU kurus atau malah jadi urusan,” ujar Ketua PCNU Pringsewu, H. Muhammad Faizin, saat menyampaikan materi tentang maksimalisasi jam’iyah untuk kemaslahatan umat, Sabtu (12/4/2025).
NU Butuh Pengurus yang Melayani, Bukan Dilayani
Sebagai organisasi keagamaan dan sosial terbesar di Indonesia, NU memiliki peran penting dalam membina umat, menjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, serta memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Namun, peran besar itu tidak akan tercapai bila para pengurus hanya menikmati nama besar tanpa kontribusi nyata.
“Ngurusi NU berarti melayani, bukan dilayani. Fungsi utama pengurus adalah hadir di tengah umat dan organisasi. Mereka harus responsif terhadap persoalan umat dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, hingga advokasi hak-hak keumatan,” lanjutnya.
Jabatan Bukan Kendaraan Pribadi
Ia mengingatkan agar jabatan sebagai pengurus NU tidak dijadikan kendaraan untuk ambisi pribadi. Sebaliknya, pengurus harus aktif membuat program, menjaga komunikasi dengan masyarakat, dan hadir sebagai solusi.
“Jika pengurus tidak ngurusi, maka yang terjadi adalah NU menjadi ‘kurus’—gerakannya lemah, kegiatan minim, kepercayaan hilang, dan ruh perjuangan memudar,” tegasnya.
Organisasi besar seperti NU, katanya, membutuhkan sosok pengurus yang ikhlas dan inovatif. Keikhlasan menjadi fondasi moral, sementara inovasi adalah energi penggerak agar NU tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Evaluasi Diri Pengurus Adalah Kunci
“Mulai dari penguatan pendidikan pesantren, pemberdayaan ekonomi umat, hingga menjawab tantangan digital, semua memerlukan pengurus yang adaptif,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya evaluasi diri bagi setiap pengurus NU. “Sudahkah saya benar-benar mengurus NU? Sudahkah keberadaan saya membawa manfaat, atau justru menjadi beban?”
Pesan Gus Yahya: Kembali ke Semangat Muassis
Senada dengan hal itu, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dalam kesempatan terpisah di Jawa Timur menegaskan bahwa menjadi pengurus NU bukan ajang mencari popularitas atau kekuasaan.
“Jadi, kita ber-NU itu awalnya perlu bertanya, kita itu mau apa?” ujarnya.
Gus Yahya mengajak semua pengurus NU untuk kembali pada semangat para muassis (pendiri NU) yang berjuang demi kemaslahatan umat luas.
“Saya sendiri sudah mendedikasikan diri sebagai ‘tukang masak’ yang masakannya enak bagi siapa pun, meski selera orang berbeda-beda,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa sebagai pemimpin, dirinya membangun konsolidasi dan tata kelola yang baik. “Yang penting, orang jam’iyah ya berperilaku jam’iyah—prosedural,” tegasnya.